DPR Minta Pemerintah Evaluasi Kontrak Kerjasama
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR meminta pemerintah dalam hal ini Ditjen Migas dan BP Migas untuk melakukan evaluasi terhadap kontrak-kontrak yang sudah berjalan, terutama terhadap masalah-masalah yang dispute atau masalah-masalah yang belum terselesaikan.
Demikian isi salah satu kesimpulan yang dibacakan oleh Ketua BAKN Ahmad Muzani saat RDP dengan Dirjen BP Migas di Gedung DPR, Jakarta, Selasa, (27/9).
Dalam kesimpulan lainnya, DPR juga meminta agar masalah ini dilakukan pembahasan dan koordinasi antara BP Migas, BPKP dan Ditjen Pajak agar permasalahan ini tidak berlanjut, dan BP Migas harus melakukan pendekatan-pendekatan kepada kontraktor-kontraktor (Kantor pusat) untuk menyelesaikan perpajakan migas.
Menurut Wakil Ketua BAKN Yahya Sacawiria, pemerintah dalam hal ini Dirjen Migas Kementerian ESDM serta BP Migas melakukan pendekatan terhadap kontraktor aasing yang diduga memiliki masalah pajak yang belum terselesaikan.
“Berdasarkan laporan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, ada sisa uang yang belum terbayarkan dari kontraktor asing, yang berasal dari Inggris yang sudah mulai beroperasi sejak tahun 1990-an. Jumlah total sisa uang itu mencapai Rp 4 triliun,” ujar Yahya ketika diwawancarai.
Ia menambahkan, hal ini terjadi karena perbedaan pemahaman soal tax treaty. Kalau menurut kontraktor asing tersebut, kisaran tax treaty itu 10 persen. Sementara dari BPKP itu mencapai 20%. Begitu pun, ia menegaskan, masalah ini tidak terjadi pada kontraktor Amerika yang baru mulai beroperasi di tahun 2.000-an, setelah adanya undang-undang soal migas.
“Perbedaan persepsi ini perlu segera diselesaikan agar pemerintah juga tidak mengalami kerugian. Namun perlu dipikirkan pendekatan yang tepat agar kontraktor tidak serta-merta kabur dari Indonesia.”jelasnya.
Ia menambahkan, Dirjen Pajak menurutnya perlu cepat-cepat mengeluarkan surat keputusan pajak agar dana tersebut tidak lolos. “tidak tertutup kemungkinan kasus ini akan sampai masuk ke ranah hukum,”tegasnya
Menurut Yahya, meski bagaimanapun, Indonesia berdaulat atas kekayaan mineral yang ada di buminya. Bila hal ini dibiarkan berlarut-larut, justru pemerintah sendiri yang mengalami kerugian.
“Selain kehilangan sejumlah uang, juga bisa dianggap tidak mampu menjalankan fungsinya dalam pengelolaan energi. Masyarakat bisa menganggap jangan-jangan sudah terjadi kebocoran dan penipuan,”terangnya
Sekedar informasi, BAKN sebagai alat kelengkapan DPR RI yang bertugas mengawasi pengelolaan keuangan negara akan mencoba membantu mencarikan solusi agar Indonesia memperoleh uang yang merupakan haknya itu.(nt)